Model Pengebangan Kurikulum



Banyaknya model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum yang ada di indonesia. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan pada kelebihan atau kebaikan agar tercapainya hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan.

Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekontruksi sosial.
Ada 6 model pengembangan kurikulum, yaitu:
1.        The Administrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staf, karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum.

Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri atas, pejabat dibawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan, tugas tim atau komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah hal-hal mendasar ini terumuskan dan mendapat pengakajian yang seksama, administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior.

Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, yang dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah. Setelah semua tugas dari tim kerja pengembangan kurikulum tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwewenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapat beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administratorpemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut. Karena sifatnya yang datang dari atas,model pengembangan kurikulum demikian disebut juga model “top down” atau “line staff”. Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaanya, terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunujuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat dihindarkan.

Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula adanya kegiatan monitoring pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam pelaksanaanya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponenya prosedur pelaksanaan maupun keberhasilanya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari tingkat pusat atau daerah. Sedang penilaian persekolah dapat dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun sekolah.

2.        The Grass Roots Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi datang dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum ini digunakan dalam sistim pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan Grass Roots Model akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan Grass Roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.

Pengembangan kurikulum yg bersifat Grass Roots Model mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan yang pada giliranya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.

3.        Beauchamp’s System
Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten atau seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalanm pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum hanya mencakup suatu daerah akabuapten saja sebagai pilot proyek. menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Beauchamp mencoba melibatkan para ahli pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh lain seperti penerbit buku,dan pengusaha. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah dan arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru-guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru semakin besar.

4.        The Demonstration Model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, dangan dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum.  Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu kompenen kurikulum atau mencakup keseluruhna kompeonen kurikulum. Karena sikap ingin merubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.

Karena sifatnya yang ingin merubah, pengembangan kurikulum seringkali mendapat tantangan dari pihak tertentu. Karena sifatnya yang ingin merubah, pengembangan kurikulum seringkali mendapat tantangan dari pihak tertentu.
Terdapat dua variasi model demonstrasi, yaitu ;
1.              berbentuk proyek
2.             berbentuk informal, terutama diprakarsai oleh sekelompok guru yang merasa   kurang puas dengan kurikulum yang ada.

5.        Taba’s Inverted Model
Model ini pengembangan kurikulum bersifat tradisional yang dilakukan secara deduktif. Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi-inovasi. Menurut pengembangan kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah bersifat induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik dari model tradisional.

6.        Roger’s Interpersonal Relation Model
Meskipun roger bukan seorang ahli pendidikan melainkan seorang ahli psikologi atau psikoterapi. Tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Memang ia banyak mengemukakan konsep tentang perkembangan dan perubahan individu. Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model-model yang lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers ssebagai sebagai Eksistensial Humanis, ia tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan berubah . petode pendidikan yang di utamakan Rogers adalah sensitivity training, encounter  group dan Training Group.





DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar